Kamis, 05 April 2012

mahasiswa dan perjuangan


“lebih baik diasingkan daripada menyerah kepada kemunafikan”
(soe hok-gie_desember 1969)
Izinkan saya membuka wacana kali ini dengan menyitir sebuah tagline dahsyat dari seorang aktivis pergerakan mahasiwa angkatan 60-an : Soe hok-gie. Seorang pemuda Indonesia keturunan tionghoa yang berakhir hidupnya dalam dekapan mahameru tepat sehari sebelum ulang tahun ke dua puluh tujuhnya (16 desember 1969). Soe yang membawa karakter asli pemuda Indonesia,; berani, jujur, dan pemberontak (terhadap kelaliman), ia yang konsisten akan apa yang telah diucapkan untuk tidak pernah menyerah kepada kemunafikan, sekalipun seisi dunia ini mencibir dan membuangnya. Kesadaran utuh yang dimilikinya dalam memaknai gelar “mahasiswa” tercermin dari pola fikir dan prilaku, bahwa mahasiswa adalah pemuda special yang memiliki kekuatan moral untuk dapat menggugah kesadaran masyarakat akan hegemoni dan dominasi yang menyakitkan, merekalah yang akan berteriak lantang sembari menunjuk hidung penguasa yang berkhianat pada amanat penderitaan rakyat, mahasiswa itu bergerak tanpa tendensi kekuasaan, murni untuk mempertahankan cita-cita murni pancasila, Hidup sejahtera dalam kebhinekaan.
Membincang soe hok-gie memaksa kita untuk bernostalgia kembali kezaman-zaman tersuram sejarah bangsa ini, masa demokrasi terpimpim, saat soekarno dengan gelap mata mendeklarasikan diri sebagai presiden seumur hidup-pemimpin besar revolusi dan mencobai pancasila dengan menunjukkan keberpihakannya pada komunisme, menyakitkan memang ketika experiment prokalmator RI itu berujung pada makar kontra-revolusioner 30 oktober 1965, dan rakyat yang tidak bersalah lagi-lagi dikambinghitamkan, Status quo ini menyentuh tabula rasa mahasiswa, sebagai bagian dari masyarakat yang ikut menyaksikan dengan mata kepala sendiri, bagaimana rakyat tersiksa hidup dalam lumpur kemiskinan dan kebodohan , persamaan nasib mempertemukan keduanya dalam nuansa perlawanan, dan MAHASISWA ambil peran. Tepat januari 1966, gie menjadi salah satu actor yang memimpin demonstrasi besar-besaran mahasiswa di Jakarta melawan rezim kiri soekarno, ketidaknyaman menyaksikan menteri-menteri antek komunis yang tetap anteng berkuasa (dan tanpa tau malu, berdalih akan kekomunisannya) sementara rakyat jelata menelan pil pahit pasca makar PKI membuat mahasiswa bergerak dan berteriak, januari 1966 menjadi saksi, satu komando satu aksi mahasiswa turun kejalan, meneriakkan “ganyang menteri goblok dan kapitalis birokrat”, tanpa sedikit pun ada kegetiran, mereka menuntut pembersihan birokrasi dari antek komunis, menuntut peningkatan kesejahteraan dan perlindungan rakyat. Tanpa perduli akan latar belakang universitas dan organisasi yang berbeda-beda, mereka tetap mampu bersatu dalam payung keyakinan akan runtuhnya rezim soekarno,. Soe dalam catatan seorang demonstran merangkai kata revolusioner penggugah semangt
“…tetapi kenang-kenangan deomstrasi akan tetap hidup, ia adalah batu tapal daripada perjuangan mahasiswa Indonesia, batu tapal dalam revolusi Indonesia dan batu tapal dalam sejarah Indonesia,karna yang dibelanya adalah keadilan dan kejujuran”
(Jakarta, 25 januari 1966)
Seperti itulah kawan, soe yang pernah dihina karna minoritas tionghoa nya, bahkan ia mendapat surat kaleng keji, yang menyuruhnya angkat kaki dari Indonesia, menjadi sosok legendaris pemuda sekaligus mahasiswa yang menjadi pilar kukuh konstruksi Indonesia bersih. Sebuah pembuktian sejarah, bahwa mahasiswa adalah harapan bangsa, harapan rakyat yang mulai patah arang dalam ketidaknyamanan, mereka bergerak dan bersatu mengembalikan kejayaan pertiwi, dipundak merekalah masa depan bangsa ini bergelayutan.
Sejarah terus berlanjut
Seperti layaknya sebuah rezim yang ditumbangkan oleh kekuatan rakyat, secara otomatis akan terbentuk lagi sebuah rezim yang tidak dapat dipastikan kualitasnya, apakah mereka akan benar-benar memangkas akar rezim yang dictator, atau malah membentuk rezim baru yang lebih berbahaya, dan itulah yang terjadi pasca tumbangnya orde lama, sesaat setelah soekarno turun melalui surat perintah sebelas maret, jendral seoharto mengambil tampuk kepemimpinan, dan memimpin ORDE BARU, dengan mengusung tagline: Menjalankan pancasila secara murni dan konsekuaen, soeharto membawa rakyat Indonesia kepada kejayaan ekonomi, dengan program swasembada beras, Keluarga berencana, repelita, dan lainnya. Lihat lah betapa rakyat terbuai dan termanjakan dengan kondisi seperti ini, hingga menyebabkan mereka mempertahankan kepemimpinan soeharto hingga 32 tahun lamanya. Soeharto menjadi kekuatan yang tak terkalahkan.
Kondisi carut-marut hasil karya orde baru ini lah yang kemudian membangunkan raksasa tidur, hadir sebuah kekuatan yang mengancam kediktatoran soeharto, Pemuda Indonesia, Mahasiswa Indonesia, sangat menyadari peran mereka sebagai agen revolusi, yang akan mengadakan koreksi besar-besaran terhadap rezim orba. Mahasiswa menjadi kekuatan baru yang mengancam keberadaan pak harto dan antek orba, dimulailah pengulangan sejarah itu.
Ada dua buah eksponen kekuatan yang mewarnai pergerakan mahasiswa saat melawan orde baru, mereka adalah gerakan terbuka (istilahnya “pasang badan”), dan gerakan bawah tanah (istilahnya “klandestin/kelompok studi”), penulis bukan bermaksud untuk membandingkan antar satu dan yang lainnya, tapi keduanya memang memiliki tipikal gerakan yang berbeda-beda, mahasiswa yang memilih gerakan terbuka sebagai alternative menumbangkan rezim orba, harus menyediakan mental baja, baik fisik maupun psikis karna Kematian dan penjara akan selalu mengintai mereka dimana pun mereka berada.
Aktivis yayasan pijar (nuku sulaiman dkk) merupakan satu dari sekian banyak organisasi yang memilih gerakan terbuka untuk melawan soeharto, mereka berdemo dan meneriakkan jargon yang akan memerahkan telinga para kroni orba, sebuah aksi yang paling berani dipimnpin oleh nuku sulaiman adalah ketika tahun 1993, dalam aksi tersebut terpampang poster “ SDSB ( soeharto dalang segala bencana)” , yang akhirnya membuat nuku dipaksa merasakan dinginnya tembok penjara selama bertahun-tahun.
Teman-teman klandestin pun memiliki kontribusi yang tidak sedikit dalam menumbangkan orba, walaupun bahaya yang mereka terima tidak seperti teman-teman yang memilih jalur terang-terangan, namun hal itu tidak menyurutkan semangat mereka untuk terus melawan, klandestin pada umumnya berasal dari OKP seperti HMI,KAMI,GMNI,PMKRI, mereka mengatasnamakan diri sebagai kelompok studi (gerakan intelektual), yang mengupayakan penumbangan soeharto melalui propaganda bawah tanah, penyebaran bulletin, penyamaan persepsi, dan pembentukan opini masyarakat melalui media. Namun saat 1985 klandestin mengalami pasang surut semangat, karna propaganda selama ini dianggap tidak massive dalam menyurakan suara rakyat, pada akhirnya mereka memilih menggabungkan diri bersama teman-teman dari gerakan terbuka. Lalu, pecahlah reformasi 1998, mahasiswa dari berbagai elemen menggabungkan diri dalam aksi terbesar sepanjang sejarah bangsa, menduduki senayan dan menggelorakan runtuhnya orde baru, dan meminta soeharto turun dari kursi panas, yang telah ia duduki selama 32 tahun. Akhir yang romantis, mahasiswa kembali membuktikan diri sebagai pahlawan jalan.
Kedua eksponen gerakan mahasiswa tadi mewarnai sejarah gemilang bangsai ini, perpaduan antara keberanian dan intelektualitas mahasiswa membentuk kekuatan baru yang mampu mengahantarkan orde baru kekuburannya.
Mahasiswa hari ini
Panjang lebar membincang sejarah mahasiswa dulu, izinkan penulis untuk menhadirkan masa kini kebenak para pembaca sekalian, mahasiswa di era demokrasi sekarng ini, masih memanfaatkan demo sebagai instrument penyalur aspirasi, masih sering ditemui di televise, sekelompok mahasiswa yang berdemo dan mengsung suatu isu, hanya saja ujungnya pasti anarkis atau bentrok dengan polisi, sehingga stigma negative melekat sudah dibenak masyarakt bahwa demo hanya akan membawa kepada kericuhan, mereka tidak lagi bersimpati pada aksi-aksi jalanan mahasiswa, implikasinya? mahasiswa harus mencari alternative gerakan baru agar tetap bisa melakukan kontrol dan tentu saja membawa manfaat bagi masyarkat.
Status social mahasiswa sebagai kaum intelektual dapat dijadikan salah satu alternative pilihan untuk tetap berjuang mengarahkan masyarakat, Saatnya mahasiswa unjuk gigi akan kualitas intelektual meraka, tunjukkan bahwa MAHASISWA TIDAK HANYA BISA DEMO!!!, kalaupun mereka harus berdemo, mereka memilki background pengetahuan yang luas akan isu yang diusung, tidak hanya sekedar berteriak kencang, namun yang terpenting adalah keselarasan antara keberanian dan intelektualitas.
Gerakan intelektual menjadi wacana hangat ditengah dunia pergerakan mahasiswa, dimulai dari pertemuan Badan eksekutif Mahasiswa (BEM) Se-Indonesia, 29 desember 2005-1 januari 2006 di Universitas Andalas, Padang, membulirkan lima buah isu besar, dan satu diantaranya adalah format gerakan mahasiswa kedepan yaitu gerakan intelektual (intellectual movement)dalam buku yang ditulis oleh Andriadi Achmad (mahasiswa hanya bisa demo, mimpiku 2006), bahwa pondasi yang akan mengkonstruk gerakan intelektual mahasiswa adalah dengan mengembalikan lagi tiga tradisi intelektual mahasiswa, yaitu membaca, menulis, dan berdiskusi, dari tiga tradisi itulah akan terbentuk sosok idealis mahasiswa yang paham secara konseptual dan realita akan permasalahan bangsa ini,
Akhirnya
Sebuah keyakinan baru, bahwa mahasiswa akan dapat terus berjuang dengan keberanian dan daya intelektualitas mereka, apapun itu namanya, gerakan intelektual, berupa pengembalian tiga tradisi mahasiswa, pemberdayaan masyarakat (community development), dll, diharapkan dapat terus menuai simpati masyarakat untuk terus berpihak pada mahasiswa, karna mahasiswa, pemuda bangsa ini, adalah kekuatan moral murni yang akan terus menjaga masyarakat dari kesewenang-wenangan pemerintah.

1 komentar:

adihamdalah@yahoo.com mengatakan...

mahasiswa hari ini hanyalah lupa dengan dirinya sendiri