“lebih baik diasingkan daripada menyerah kepada kemunafikan”
(soe hok-gie_desember 1969)
Izinkan
saya membuka wacana kali ini dengan menyitir sebuah tagline dahsyat
dari seorang aktivis pergerakan mahasiwa angkatan 60-an : Soe hok-gie.
Seorang pemuda Indonesia keturunan tionghoa yang berakhir hidupnya
dalam dekapan mahameru tepat sehari sebelum ulang tahun ke dua puluh tujuhnya (16 desember 1969). Soe yang membawa karakter asli pemuda Indonesia,;
berani, jujur, dan pemberontak (terhadap kelaliman), ia yang konsisten
akan apa yang telah diucapkan untuk tidak pernah menyerah kepada
kemunafikan, sekalipun seisi dunia ini mencibir dan membuangnya.
Kesadaran utuh yang dimilikinya dalam memaknai gelar “mahasiswa”
tercermin dari pola fikir dan prilaku, bahwa mahasiswa adalah pemuda
special yang memiliki kekuatan moral untuk dapat menggugah kesadaran masyarakat akan hegemoni dan dominasi yang menyakitkan, merekalah yang akan berteriak lantang sembari menunjuk hidung penguasa yang berkhianat pada
amanat penderitaan rakyat, mahasiswa itu bergerak tanpa tendensi
kekuasaan, murni untuk mempertahankan cita-cita murni pancasila, Hidup sejahtera dalam kebhinekaan.
Membincang
soe hok-gie memaksa kita untuk bernostalgia kembali kezaman-zaman
tersuram sejarah bangsa ini, masa demokrasi terpimpim, saat soekarno
dengan gelap mata mendeklarasikan diri sebagai presiden seumur
hidup-pemimpin besar revolusi dan mencobai pancasila dengan menunjukkan
keberpihakannya pada komunisme, menyakitkan memang ketika experiment
prokalmator RI itu berujung pada makar kontra-revolusioner 30 oktober
1965, dan rakyat yang tidak bersalah lagi-lagi dikambinghitamkan,
Status quo ini menyentuh tabula rasa mahasiswa, sebagai bagian dari
masyarakat yang ikut menyaksikan dengan mata kepala sendiri,
bagaimana rakyat tersiksa hidup dalam lumpur kemiskinan dan kebodohan ,
persamaan nasib mempertemukan keduanya dalam nuansa perlawanan, dan
MAHASISWA ambil peran. Tepat januari 1966, gie menjadi salah satu actor
yang memimpin demonstrasi besar-besaran mahasiswa di Jakarta melawan
rezim kiri soekarno, ketidaknyaman menyaksikan menteri-menteri antek
komunis yang tetap anteng berkuasa (dan tanpa tau malu, berdalih akan
kekomunisannya) sementara rakyat jelata menelan
pil pahit pasca makar PKI membuat mahasiswa bergerak dan berteriak,
januari 1966 menjadi saksi, satu komando satu aksi mahasiswa turun
kejalan, meneriakkan “ganyang menteri goblok dan kapitalis birokrat”,
tanpa sedikit pun ada kegetiran, mereka menuntut pembersihan birokrasi
dari antek komunis, menuntut peningkatan kesejahteraan dan perlindungan
rakyat. Tanpa perduli akan latar belakang
universitas dan organisasi yang berbeda-beda, mereka tetap mampu
bersatu dalam payung keyakinan akan runtuhnya rezim soekarno,. Soe
dalam catatan seorang demonstran merangkai kata revolusioner penggugah
semangt
“…tetapi
kenang-kenangan deomstrasi akan tetap hidup, ia adalah batu tapal
daripada perjuangan mahasiswa Indonesia, batu tapal dalam revolusi
Indonesia dan batu tapal dalam sejarah Indonesia,karna yang dibelanya
adalah keadilan dan kejujuran”
(Jakarta, 25 januari 1966)
Seperti itulah kawan, soe yang pernah dihina karna minoritas tionghoa nya, bahkan ia mendapat
surat kaleng keji, yang menyuruhnya angkat kaki dari Indonesia, menjadi
sosok legendaris pemuda sekaligus mahasiswa yang menjadi pilar kukuh
konstruksi Indonesia bersih. Sebuah pembuktian sejarah, bahwa mahasiswa
adalah harapan bangsa, harapan rakyat yang mulai patah arang dalam
ketidaknyamanan, mereka bergerak dan bersatu mengembalikan kejayaan
pertiwi, dipundak merekalah masa depan bangsa ini bergelayutan.
Sejarah terus berlanjut
Seperti
layaknya sebuah rezim yang ditumbangkan oleh kekuatan rakyat, secara
otomatis akan terbentuk lagi sebuah rezim yang tidak dapat dipastikan
kualitasnya, apakah mereka akan benar-benar memangkas akar rezim yang
dictator, atau malah membentuk rezim baru yang lebih berbahaya, dan
itulah yang terjadi pasca tumbangnya orde lama, sesaat setelah soekarno
turun melalui surat perintah sebelas maret, jendral seoharto mengambil
tampuk kepemimpinan, dan memimpin ORDE BARU, dengan mengusung tagline: Menjalankan pancasila secara murni dan konsekuaen,
soeharto membawa rakyat Indonesia kepada kejayaan ekonomi, dengan
program swasembada beras, Keluarga berencana, repelita, dan lainnya.
Lihat lah betapa rakyat terbuai dan termanjakan dengan kondisi seperti
ini, hingga menyebabkan mereka mempertahankan kepemimpinan soeharto
hingga 32 tahun lamanya. Soeharto menjadi kekuatan yang tak terkalahkan.
Kondisi
carut-marut hasil karya orde baru ini lah yang kemudian membangunkan
raksasa tidur, hadir sebuah kekuatan yang mengancam kediktatoran
soeharto, Pemuda Indonesia, Mahasiswa Indonesia, sangat menyadari peran
mereka sebagai agen revolusi, yang akan mengadakan koreksi
besar-besaran terhadap rezim orba. Mahasiswa menjadi kekuatan baru yang
mengancam keberadaan pak harto dan antek orba, dimulailah pengulangan
sejarah itu.
Ada
dua buah eksponen kekuatan yang mewarnai pergerakan mahasiswa saat
melawan orde baru, mereka adalah gerakan terbuka (istilahnya “pasang
badan”), dan gerakan bawah tanah (istilahnya “klandestin/kelompok
studi”), penulis bukan bermaksud untuk membandingkan antar satu dan
yang lainnya, tapi keduanya memang memiliki tipikal gerakan yang
berbeda-beda, mahasiswa yang memilih gerakan terbuka sebagai
alternative menumbangkan rezim orba, harus menyediakan mental baja,
baik fisik maupun psikis karna Kematian dan penjara akan selalu
mengintai mereka dimana pun mereka berada.
Aktivis yayasan pijar (nuku sulaiman dkk) merupakan satu dari sekian banyak organisasi yang memilih gerakan terbuka untuk melawan soeharto, mereka
berdemo dan meneriakkan jargon yang akan memerahkan telinga para kroni
orba, sebuah aksi yang paling berani dipimnpin oleh nuku sulaiman adalah ketika tahun 1993, dalam aksi tersebut terpampang poster “ SDSB ( soeharto dalang segala bencana)” , yang akhirnya membuat nuku dipaksa merasakan dinginnya tembok penjara selama bertahun-tahun.
Teman-teman
klandestin pun memiliki kontribusi yang tidak sedikit dalam
menumbangkan orba, walaupun bahaya yang mereka terima tidak seperti
teman-teman yang memilih jalur terang-terangan, namun hal itu tidak
menyurutkan semangat mereka untuk terus melawan, klandestin pada
umumnya berasal dari OKP seperti HMI,KAMI,GMNI,PMKRI, mereka
mengatasnamakan diri sebagai kelompok studi (gerakan intelektual), yang
mengupayakan penumbangan soeharto melalui propaganda bawah tanah,
penyebaran bulletin, penyamaan persepsi, dan pembentukan opini
masyarakat melalui media. Namun saat 1985 klandestin mengalami pasang
surut semangat, karna propaganda selama ini dianggap tidak massive
dalam menyurakan suara rakyat, pada akhirnya mereka memilih menggabungkan diri bersama
teman-teman dari gerakan terbuka. Lalu, pecahlah reformasi 1998,
mahasiswa dari berbagai elemen menggabungkan diri dalam aksi terbesar
sepanjang sejarah bangsa, menduduki senayan dan menggelorakan runtuhnya
orde baru, dan meminta soeharto turun dari kursi panas, yang telah ia
duduki selama 32 tahun. Akhir yang romantis, mahasiswa kembali
membuktikan diri sebagai pahlawan jalan.
Kedua
eksponen gerakan mahasiswa tadi mewarnai sejarah gemilang bangsai ini,
perpaduan antara keberanian dan intelektualitas mahasiswa membentuk
kekuatan baru yang mampu mengahantarkan orde baru kekuburannya.
Mahasiswa hari ini
Panjang
lebar membincang sejarah mahasiswa dulu, izinkan penulis untuk
menhadirkan masa kini kebenak para pembaca sekalian, mahasiswa di era
demokrasi sekarng ini, masih memanfaatkan demo sebagai instrument
penyalur aspirasi, masih sering ditemui di televise, sekelompok
mahasiswa yang berdemo dan mengsung suatu isu, hanya saja ujungnya pasti anarkis atau bentrok
dengan polisi, sehingga stigma negative melekat sudah dibenak masyarakt
bahwa demo hanya akan membawa kepada kericuhan, mereka tidak lagi
bersimpati pada aksi-aksi jalanan mahasiswa, implikasinya? mahasiswa
harus mencari alternative gerakan baru agar tetap bisa melakukan
kontrol dan tentu saja membawa manfaat bagi masyarkat.
Status
social mahasiswa sebagai kaum intelektual dapat dijadikan salah satu
alternative pilihan untuk tetap berjuang mengarahkan masyarakat,
Saatnya mahasiswa unjuk gigi akan kualitas intelektual meraka,
tunjukkan bahwa MAHASISWA TIDAK HANYA BISA DEMO!!!, kalaupun mereka
harus berdemo, mereka memilki background pengetahuan yang luas akan isu
yang diusung, tidak hanya sekedar berteriak kencang, namun yang
terpenting adalah keselarasan antara keberanian dan intelektualitas.
Gerakan
intelektual menjadi wacana hangat ditengah dunia pergerakan mahasiswa,
dimulai dari pertemuan Badan eksekutif Mahasiswa (BEM) Se-Indonesia, 29
desember 2005-1 januari 2006 di Universitas Andalas, Padang,
membulirkan lima buah isu besar, dan satu diantaranya adalah format
gerakan mahasiswa kedepan yaitu gerakan intelektual (intellectual
movement)dalam buku yang ditulis oleh Andriadi Achmad (mahasiswa hanya
bisa demo, mimpiku 2006), bahwa pondasi yang akan mengkonstruk gerakan
intelektual mahasiswa adalah dengan mengembalikan lagi tiga tradisi
intelektual mahasiswa, yaitu membaca, menulis, dan berdiskusi, dari
tiga tradisi itulah akan terbentuk sosok idealis mahasiswa yang paham
secara konseptual dan realita akan permasalahan bangsa ini,
Akhirnya
Sebuah
keyakinan baru, bahwa mahasiswa akan dapat terus berjuang dengan
keberanian dan daya intelektualitas mereka, apapun itu namanya, gerakan
intelektual, berupa pengembalian tiga tradisi mahasiswa, pemberdayaan
masyarakat (community development), dll, diharapkan dapat terus menuai
simpati masyarakat untuk terus berpihak pada mahasiswa, karna
mahasiswa, pemuda bangsa ini, adalah kekuatan moral murni yang akan
terus menjaga masyarakat dari kesewenang-wenangan pemerintah.
1 komentar:
mahasiswa hari ini hanyalah lupa dengan dirinya sendiri
Posting Komentar